Kisah Sukses

Jatuh Bangun Mantan TKI Menjadi Juragan Telur Puyuh

Merantau ke luar negeri seringkali menjadi pilihan masyarakat Indonesia ketika tak kunjung mendapat pekerjaan di dalam negeri. Tak hanya pria, wanita pun banyak juga yang merantau dan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Beberapa pilihan negara tujuan para TKI antara lain : Malaysia, Taiwan, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, Kuwait hingga Korea.
Namun, tak sedikit TKI di sana bernasib naas. Jikalau tidak, TKI yang pulang kampung seringkali gagal memanfaatkan dengan baik uang hasil perantauannya di luar negeri. Kemudian bingung mencari-cari lagi pekerjaan di dalam negeri. 
kisah jatung bangun usaha telur puyuh / gambar via selfsufficientme.com
Padahal biasanya, mantan TKI cenderung malas bekerja dengan gaji rendah, karena sudah terbiasa dengan gaji tinggi di luar negeri. Tapi karena terpaksa, menjadi kuli pun mereka jalani, padahal penghasilan kuli di dalam negeri dengan luar negeri tak mungkin sama.

Kesadaran dini

Sadar adanya kemungkinan buruk seperti itu, para mantan TKI harus menyiapkan hari tua sedini mungkin. Seperti yang dilakukan Sukisman dan Dewi, pasangan suami istri berusia 30 tahunan, dimana keduanya dulu pernah merantau ke Korea.
Pasangan suami istri yang awalnya saling bertemu di Jakarta ini sukses beternak puyuh petelur dengan keuntungan bersih mencapai jutaan per minggu. Mereka sudah balik modal hanya dalam waktu 6 bulan. Selain itu juga mempunyai toko pakan ternak 2 tingkat. Seperti apa kisahnya dalam membangun usaha tersebut?
Dewi berasal dari keluarga tidak mampu yang tinggal di sebuah desa di Garut, Jawa Barat. Setelah lulus SMA pada tahun 1996, Dewi ingin segera bekerja daripada meneruskan ke bangku kuliah.

Singkat cerita, Dewi merantau ke Purwokerto dan bekerja pada sebuah pabrik di sana. Hanya 2 tahun di Purwokerto, Dewi pun kembali ke Garut dan menganggur. Tak ingin terus-terusan menganggur, Dewi ingin kembali bekerja dan bertekad untuk merantau ke luar negeri.

Akhirnya di awal 2003, Dewi bisa berangkat ke luar negeri dan bekerja pada sebuah pabrik di Korea. Ketika akan berangkat ke luar negeri itulah Dewi berkenalan dengan calon suaminya, yaitu Sukisman, seorang TKI asal Sleman yang juga akan merantau ke Korea.


Perkenalan mereka berlanjut sampai di negeri ginseng. Sekitar 2005 setelah habis masa kontrak kerja yang kedua, Dewi dan Sukisman pulang ke Indonesia. Setahun kemudian mereka pun menikah. Waktu menikah, Dewi dan Sukisman masih sama-sama menganggur.

Jatuh bangun usaha ternak puyuh petelur

Lama tak kunjung mendapat pekerjaan, Sukisman nekad merantau lagi ke Korea. Sedangkan Dewi tinggal di Garut bersama anak pertamanya yang baru berumur 2 minggu. Setelah 3 tahun merantau, Sukisman pulang pada tahun 2009. Dan keduanya pun setuju untuk membuka usaha ternak sapi di Sleman, kampung halaman Sukisman.

Tak tanggung-tanggung, mereka langsung membeli 10 ekor sapi. Namun kesemuanya itu gagal. Harga sapi terjun bebas dan waktu itu mereka rugi Rp. 2 juta per ekornya. Kerugian tersebut belum termasuk rugi di tenaga dan pakan.


Namun kegagalan tak menyurutkan semangat mereka. Sebaliknya, Dewi terus menyemangati sang suami untuk tetap semangat. Akhirnya Dewi belajar ternak puyuh dari seorang teman.
Di tahun 2009 itu pula, pasangan suami istri ini membangun usaha peternakan puyuh. Modalnya dari uang sisa penjualan sapi yang rugi sebelumnya. Selain itu mereka juga membuat warung pakan ternak kecil-kecilan.

Seolah tak percaya, dari ternak puyuh sebanyak 4 ribu ekor, mereka sukses mengambalikan modalnya hanya dalam waktu 6 bulan. Omsetnya pun sangat tinggi. Meski cukup sulit untuk menjalankan ternak puyuh, Dewi semakin menekuni, karena hasilnya juga sepadan.

Suka duka usaha telur puyuh

Puyuh petelur termasuk ternak sensitif, karena mudah tertular penyakit dan stres jika mendengar suara keras yang mendadak. Sehingga Dewi mensiasatinya dengan membuat kandang tertutup dan dibersihkan tiap hari. Selain itu Dewi juga melarang orang lain masuk ke kandang ternak puyuhnya.

Tak hanya dari telur puyuh, Dewi juga memperoleh keuntungan lain dari penjualan kotoran puyuh. Dari 4.000 ekor puyuh, bisa menghasilkan kotoran sebanyak 3 ember dalam seharinya. Satu ember kotoran puyuh basah bisa laku seribu rupiah.

Sedangkan dari
puyuhnya sendiri, terkadang masih menghasilkan keuntungan
lagi. Karena setahun sekali, puyuh yang sudah tidak produktif laku dijual seharga
Rp. 2.500/ekor, dimana puyuh yang sudah tak produktif itu akan diganti puyuh usia 3 minggu.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button